Patriot NKRI - AGUS Salim muda pernah membuat Raden Ajeng Kartini kepincut. Anak pintar yang sebelum masuk ke gelanggang politik, lama jadi wartawan.
Di balik sumbangan besar pemikiran Haji Agus Salim untuk bangsa Indonesia, ada kecerdasannya yang luar biasa. Mohammad Natsir menyebut, kalau hendak menggunakan kualifikasi intelektual brilian pada salah satu putra Indonesia, maka yang paling pertama tepat ialah pada Haji Agus Salim.
Baca Juga: Heboh...! Panglima Perintahkan Prajurit TNI Tidur di Rumah Warga, Ada Apa?
Lahir di Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat pada 8 Oktober 1884 dengan nama Mashudul Haq, sohor di rantau dengan nama Haji Agus Salim. Pada tahun 1891, ketika usia Agus Salim menginjak tujuh tahun, dimasukinya sekolah dasar Belanda, yaitu ELS (Europeesche Lagere Scholl) di Bukittinggi. Ketika Agus Salim duduk di bangku ELS, kecerdasan otaknya telah menarik perhatian guru-gurunya orang Belanda, rasa simpati mereka terlihat dengan permintaan ingin membina dan mengarahkan Agus Salim sepenuhnya baik di sekolah maupun di rumahnya.
Namun permintaan tersebut ditolak oleh kedua orang tua Agus Salim. Hanya diizinkannya ketika saatnya makan pagi, siang dan malam, ditambah waktu sesudahnya, boleh tinggal di rumah orang tuanya.
Pada usia 13 tahun, sesudah tamat dari ELS dengan gemilang (1898), Agus Salim berangkat menuju Jakarta melanjutkan sekolahnya. Dengan kapal laut ditinggalkannya kampung halaman, ayah ibunya, dan sanak familinya pergi merantau ke daerah seberang. Selanjutnya dimasukinya HBS (Hoger Burgelijke School),yaitu sekolah menengah Belanda di Jakarta.
Baca Juga: Balada Sang Letnan KEBAL PELURU, MENANGIS Terisak Dipelukan Jendral Soedirman
Dalam tempo lima tahun, Agus salim selesai dan berhasil menempuh ujian di HBS (1903) dengan nilai terbaik sekaligus menjadi juara. Dia adalah siswa terbaik dari tiga HBS di Hindia Belanda ketika itu.
Saat itu dapat dikatakan hampir tidak ada anak pribumi yang duduk di bangku HBS, terkecuali dari Agus Salim dan P.A.Hoesein Djajaningrat (Doktor pertama di Indonesia), dan yang lain anak-anak bangsa Eropa. Kecerdasan otaknya yang luar biasa diakui oleh gurunya yang juga oleh sarjana-sarjana Belanda. Bahkan menurut ramalan-ramalan gurunya, kelak kemudian hari Agus Salim menjadi orang penting bagi bangsanya.
Sepucuk Surat Kartini
Saat berusia 19 tahun, namanya sudah disebut-sebut. Kecerdasannya membuat Raden Ajeng Kartini kepincut.
“Kami tertarik sekali kepada seorang anak muda. Kami ingin melihat dia dikarunia bahagia. Anak muda itu namanya Salim,” tulis Kartini dalam sepucuk surat kepada Ny. Abendanon, 24 Juli 1903, termuat dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang.
Baca Juga: MANTAP JIWA...! Inilah Deretan Senjata-Senjata LEGENDARIS KOPASSUS. [Nomor 5 Sangat SPESIAL] Kamu Wajib Tahu...!
Agus Salim, lanjut Kartini, “dalam tahun ini (1903–red), mengikuti ujian penghabisan sekolah menengah HBS, dan ia keluar sebagai juara. Juara pertama dari ketiga-tiga HBS!”
HBS singkatan dari Hogere Burger School, sekolah menengah atas lima tahun. Ketiga-tiga HBS yang dimaksud Kartini; Jakarta, Semarang dan Surabaya.
“Anak muda itu ingin sekali pergi ke Negeri Belanda untuk belajar menjadi dokter. Sayang sekali, keadaan keuangannya tidak memungkinkan,” sambung Kartini.
Lulusan terbaik (HBS) 1903 itu bukan tak berusaha. Pernah mengajukan beasiswa, namun ditolak.
Kartini mengalihkan beasiswa
Kartini mengalihkan beasiswa ke Belanda yang didapatnya dari pemerintah kepada Agus Salim. Pemerintah setuju. Tapi, pemuda yang pandai berbahasa Belanda, Inggris, Arab, Turki, Prancis, Jepang dan Jerman itu menolak.
Rupanya, Agus Salim menganggap cara yang demikian itu adalah penghinaan terhadap dirinya. Akhirnya tawaran itupun ditampiknya seraya mengatakan: "Kalau pemerintah mengirim saya karena anjuran kartini, bukan karena kemauan pemerintah sendiri, lebih baik tidak," dikutip dari buku Tokoh-tokoh Pemikir Paham Kebangsaan. Sejak peristiwa itu, diputuskannya minat untuk tidak melanjutkan sekolah.
Baik Kartini, pun Agus Salim sama-sama tak berangkat ke Belanda. Raden Ajeng kita menikah dan menetap di Jawa lantaran perjodohan yang diatur orang tuanya.
Agus Salim berangkat ke Arab, kerja sebagai penerjemah di konsulat Belanda, sembari berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, imam besar Masjidil Haram–guru Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan Hasyim Asyari (pendiri NU).
Pada 1912 dia pulang kampung ke Koto Gadang. Sempat mendirikan sekolah, tiga tahun kemudian merantau lagi ke Jawa dan memulai karir di bidang jurnalistik.
Baca Juga: Aksi Heroik Dan Menegangkan..! Duel Maut Sampai Mati: Satu Lawan Satu Kopassus vs Gerilyawan PGRS
Wartawan Pergerakan
“Agus Salim diangkat sebagai pemimpin redaksi bahasa Melayu pada Commissie voor de Volkslectuur yang kelak berkembang menjadi Balai Pustaka,” tulis St. Sularto, dalam buku biografi Agus Salim.
Ajip Rosidi dalam Penerbitan Buku Bacaan dan Buku Sastra di Indonesia, termuat dalam Prisma, No. 4, Thn. VII, 1979 menulis, nama lembaga itu dirubah jadi Balai Pustaka atas usul Haji Agus Salim yang bekerja di sana sejak 1917 hingga 1919.
Di samping Balai Pustaka, lelaki yang di kemudian hari mejadi pimpinan Sarekat Islam (SI) itu juga bekerja sebagai redaktur surat kabar Bendera Islam dan redaktur Bataviaasch Niewsblad.
Saat aktif di Sarekat Islam, dia mendirikan dan “menjadi pemimpin redaksi surat kabar Hindia Baroe (Jakarta) dan Fadjar Asia (Yogyakarta) yang didirikannya bulan November 1927 bersama HOS Tjokroaminoto,” tulis St. Sularto.
Agus Salim memainkan perang sebagai juru runding ketika Republik Indonesia baru merdeka. Dia dijuluki diplomat ulung.
Baca Juga:
No comments:
Post a Comment